Sunday, September 15, 2013

Spiders in Holy Qur'an



Spider is a small animal which can be found in any place. We can find it in house ceiling, the corner, or a warehouse.

There are many kinds of spider, such as trapdoor, bolas, and many other. They are in various sizes. Generally, a spider has two segments of body (they are a cephalothorax—the fusion of head and thorax, and an abdomen) and eight feet. It does not have antennae. It also has no mouth and true jaws. But it has pedipalps to grind the prey. 

Spiders are well-known with its net as their home. Spiders build their home using fiber from their abdomen. Spiders not only use their net as a home but also as a trap. The net traps any small creatures. Then, the spiders will eat the prey.

Allah SWT mentions spiders in Qur’an. There is a soorah which is named Al Ankabut (the Spiders). Al Ankabut is the 29th soorah in Qur’an. It consists of 69 verses. Al Ankabut tells a story of Prophet Luth and his clan, and other prophets.

Al Ankabut tells us to believe and to be piety to Allah SWT. We should not believe in others, except Allah. People who are take allies other than Allah are called musyrikin. They are like people who keep themselves in spiders’ net. Yet, spiders’ net cannot keep them from hot, rain wind or enemy. Spiders’ net itself can be easily broken by wind or rain. This is the parable of musyrikin who believe in others, not Allah. They submit their fate to something which cannot give any benefit at all. As Allah says in soorah Al Ankabut aayah 41:
"The example of those who take allies other than Allah is like that of the spider who takes a home. And indeed, the weakest of homes is the home of the spider, if they only knew.”

Sources:
Mikam, Komarudin Ibnu dan Rahayu, Herlinda Novita. 2011. Binatang Menakjubkan dalam Al-Quran. Jakarta: Gramedia.


Tuesday, July 2, 2013

Monday, May 20, 2013

Sujud Aja Kok Takut!


23012012
Ketika saya di rumah, saya mendapati adik saya yang berumur sekitar 9 tahun akan sholat,. Waktu itu sholat maghrib di kamar, tepatnya di sebelah tempat tidur. Setelah menggelar sajadah dan memakai mukena, ia mengambil dua bantal. Saya heran, untuk apa bantal-bantal itu? Saya pikir ia masih mau bermain. Kutegur adikku,”udah tho,  sholat dulu. Mainan bantalnya ntar kalau sholatnya sudah selesai.” Si adik menjawab, “aku gak mau main-main kok. Ini mau sholat.” Sambil menjawab begitu, ia menyusun bantal-bantal itu berjejer di samping tempat tidur. Aku berpikir sebentar, dan kemudian kutemukan jawabannya. Ternyata maksud adikku menyusun bantal disamping tempat tidur itu untuk menutupi kolong tempat tidur. Rupanya ia takut kalau-kalau ketika ia ruku dan sujud, ia melihat “sesuatu” dari kolong tempat tidur. Hahahaa. Kreatif dan ampuh juga cara adikku mengatasi rasa takutnya itu. Kenapa dulu aku tidak sampai berpikir ada cara yang seperti itu ya? Hahaha.
Dulu sewaktu aku kecil—ya sekitar 9 tahun dan ke atas—aku juga mengalami hal yang sama dengan adikku itu—takut melihat “sesuatu” di kolong tempat tidur ketika ruku’ dan sujud. Apalagi kalau sholat sendirian, tidak ada orang lain di kamar. Benar-benar senam jantung deh kalau sudah mau ruku’ dan sujud. Ketika ruku’ masih mendinganlah takutnya. Tapi kalau sudah sujud, hati berdegup kencang, mata terpejam kuat, pikiran membayangkan hal yang tidak-tidak, dan mulut komat-kamit cepat membaca bacaan sujud ingin cepat-cepat menyelesaikan sujud. Kalau sudah berdiri lagi, sudah lega. Dan ketakutan akan terulang untuk sujud rakaat kedua, ketiga, maupun keempat. Huft.. benar-benar deh. Benar-benar apa? Benar-benar gak khusyuk. Hohoho, boro-boro khusyuk, sholat dengan tenang saja tidak. By the way, ada tidak ya anak kecil yang sholat dengan khusyuk?
Kalau dilihat dari sudut pandang psikologi*, saya berasumsi bahwa seorang anak yang berumur sekitar 8 hingga pra-remaja sudah mengerti, mengenal, dan mengalami rasa takut akan hantu dan kawan-kawannya. Hal itu terjadi karena mereka sudah bisa menangkap informasi-informasi dari lingkungan sekitar dengan jelas dan sudah mampu mengimajinasikannya. Ketika dia mendengar cerita-cerita hantu dari sang teman; dari tontonan televisi;  dari pembicaraan orang-orang dewasa di sekitarnya; atau pun dari sumber-sumber lain, dia akan membayangkan apa yang dia dengar dan lihat itu. Informasi atau cerita tentang makhluk ghaib yang ia dapatkan itu terserap di pikirannya. Mungkin saja setelah mendengarkan cerita menyeramkan dari temannya sewaktu istirahat sekolah, ia dan pikirannya bergumul dengan pelajaran-pelajaran dan kemudian ia tertawa riang bercanda dengan temannya-temannya sewaktu pulang sekolah, ia lupa akan cerita menyeramkan tersebut. Namun, cerita sang teman tidak berpudar dari memorinya. Situasi, keadaan, dan persepsi akan sesuatu (semisal sepi, gelap, berjalan di samping pohon yang sangat besar atau rumah kosong, dan sebagainya) akan memunculkan kembali memori cerita temannya yang menyeramkan itu, dan kemudian terbersitlah rasa takut dari pikiran dan relung hatinya. Yah, kecuali jika si anak memiliki keberanian yang tangguh akan hal-hal seperti itu.
*sudut pandang psikologi yang dipakai adalah sudut pandang psikologis pengamatan**, bukan teori karena saya belum pernah membaca buku psikologi anak tentang rasa takut dan berani—juga buku-buku psikologi lain^^hehee
**psikologi pengamatan di sini adalah saya mengamati psikologis beberapa anak di sekitar saya termasuk pengalaman psikologis saya dulu.

Bintang 39: Aku Bertanam, Maka Aku Memanen

“Bahwa tidak ada yang orang dapatkan, melainkan yang ia usahakan.”
(QS. An Najm:39)
Hingga detik ini, ada dua hal yang terpikirkan olehku setelah membaca ayat di atas di bukunya Ary Ginanjar tentang ESQ. Keduanya tidak muncul bersamaan, melainkan satu per satu, mungkin selisih dua menit.
Pikiran pertama yang terlintas adalah hal yang menyangkut diri saya sendiri yang sering mengalami saat-saat have no money at all. Ketika membaca ayat tersebut saya merasa sangat tersindir. Bukan salah Tuhan tidak memberiku uang meski aku mengharap padaNya dengan sangat dan berkali-kali, bukan salah orangtuaku yang (mungkin) terganggu dengan permintaanku akan uang, dan bukan salah tempatku bekerja yang sudah jelas-jelas mempunyai waktu tersendiri dalam penggajian pengajarnya. Yang salah adalah diri saya sendiri yang kurang proaktif beraksi mencari karunia Tuhan berupa uang itu. Pekerjaan saya saat ini memang terdengar cukup ‘wah’, tapi tidak cukup ‘wah’ kalau ditilik dari segi salarynya. Saya menyadari hal itu, saya juga menyadari kalau saya sangat perlu memegang jabatan lain, entah sebagai tentor di institusi lain, distributor sebuah produk, kontributor sebuah media, ataupun sebagai founder sebuah perusahaan swasta. Namun, yang terjadi saya tidak cukup berani untuk memulai langkah-langkah produktif. Masih mengandalkan “panggilan” dari institusi-institusi yang saya lamar. Kalau Pak Ippho Santosa, Pak Robert Kiyosaki, Pak Donald Trumph, dan Pak-Pak pengusaha sukses lain mendengar apalagi melihat apa yang kulakukan ini pasti akan geleng-geleng kepala berdecak menyayangkan. Mungkin mereka akan bilang “Ckckckck, sudah membaca buku-buku saya tapi kok masih bermental pengecut seperti itu? Pergi ke laut saja sana! Temui Nyi Roro Kidul apa Lor! Lhoh??
Yah begitulah pemirsa, buku-buku tentang impian-impian, motivasi, berpikir dan bertindak seperti pengusaha, dan tema-tema pengembangan diri lain yang hampir semuanya tentang berwirausaha sudah saya baca (dan sepertinya tidak ada buku yang saya baca berisi tentang bagaimana menjadi pegawai yang baik, melejitkan keuangan dengan menjadi pegawai, ataupun buku-buku lain tentang kepegawaian, bahkan buku tentang kiat menembus tes CPNS). Impian-impian dan target-target sudah saya tulis sedemikian rupa. Niat awal sudah saya bulatkan. Beberapa hal sudah saya mulai. Namun permulaan hanyalah permulaan, tak akan menjadi proses dan hasil, jika tidak ditindaklanjuti dan dijalani. Begitulah yang saya lakukan, just do the begin, hanya memulai, kurang bisa menindaklanjuti apa yang sudah saya mulai. Lagi-lagi mungkin, para ‘guru’ dari perguruan “perbukuan” akan memecat saya dari posisi saya sebagai murid mereka.
Jadi intinya, karena saya tidak berusaha mendapatkan pekerjaan sambilan atau membuat pekerjaan untuk diri saya sendiri, alhasil jadilah saya tidak mendapat uang tambahan. Poor me! Solusinya? Usahakan, maka akan kamu dapatkan.
Hal kedua yang terpikirkan setelah membaca ayat An Najm: 39 ini mengenai salah satu bagian pekerjaan saya sebagai pengajar, yaitu membuat soal ujian. Ada dua opsi tentang pembuatan soal ujian semester: tim atau mandiri. Saya memutuskan untuk membuat soal sendiri untuk kelas yang saya ampu, karena yang saya ajarkan tidak sepenuhnya sama plek dengan modul dari pusat bahasa. Teori yang saya pakai merujuk pada modul tersebut, tetapi contoh-contoh teksnya saya sesuaikan dengan jurusan kelas yang saya pegang. Dengan membuat soal sendiri, saya bisa membuat soal yang sesuai dengan ‘ajaran’ saya di kelas dan tidak perlu khawatir dan kecewa jika soal tidak sesuai dengan yang diharapkan karena pandangan pengajar satu dengan yang lain atas suatu materi yang sama pun kadang bisa berbeda.
Malam itu sebenarnya sedang ada pergolakan batin di diri saya, antara memanfaatkan waktu luang dengan membuat soal ujian atau membaca buku yang (kata orang) spektakuler itu. Saya sudah mendengar sudah lama tentang ESQ dan Ary Ginanjar, tetapi entah kenapa hidayah membaca buku itu (buku ESQnya Pak Ary) baru tertangkap oleh saya saat ini. Sudah ketinggalan berapa abad ya?? Ckckck.. Kembali pada bahasan utama. Jadi kemudian saya memilih untuk membaca dulu, intuisi saya mengatakan barangkali saya menemukan ide untuk soal ujian dari buku ini. Intuisi ini mungkin terdengar tidak nyambung: bagaimana bisa ide untuk soal (teks soal) bahasa Inggris untuk jurusan perbankan syariah ada di buku yang notabene tentang spiritual, emotional, motivational, de es be? Tapi saya yakinkan diri saya, ide itu terletak di mana saja. Justru ide yang ditemukan di luar “habitat aslinya” bisa saja menjadi ide yang out of the box.
Dan ide out of the box itu pun muncul setelah satu menit dua menit merenung tentang “bahwa tiada orang yang dapatkan, selain yang ia usahakan.” Pikiran pertama sudah muncul, pikiran kedua pun menyusul Sebutir soal tercetus: “Tulis sebuah essay tentang ‘bahwa tiada orang yang dapatkan, selain yang ia usahakan (An Najm:39)’ menurut pengetahuan, pemahaman, pendapat, atau pengalaman Anda (minimal 10 kalimat).”
Godgreat! Yes!! Inilah yang saya inginkan! Tanpa harus membuat 20 teks soal berbeda, saya sudah mendapatkannya dalam satu instruksi. Yup, dari awal, saya ingin agar soal tiap siswa berbeda, atau soal sama tetapi memuat jawaban yang berbeda dari setiap siswa. Hal ini saya inginkan karena saya ingin siswa yang saya ajar benar-benar menunjukkan kemampuan dirinya sendiri, bukan kemampuan orang lain yang ia tulis dalam lembar jawabnya. Soal itu juga sebagai sebuah reaksi saya atas kalimat para “guru buku” saya bahwa pendidikan di pendidikan formal tidak mengajarkan hakikat EQ dan SQ melainkan hanya IQ. Pernyataan-pernyataan para guru buku tadi melecut semangat saya untuk mendidik murid-murid saya dengan melibatkan unsur ESQ disamping IQ agar bisa menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik dari pribadi sebelumnya.

Sunday, April 21, 2013

Creating Learning Material? Come on!


Learning material is important for students as learning source. We can give the learning material by write it down on whiteboard, display it on LCD in form of PowerPoint presentation, or of print it out. Or, commonly, many teachers use a student worksheet (LKS) and/or textbook as the learning material. But sometime we are not satisfied 100% with the LKS and/or textbook; we need or want to create learning material by ourselves. Sometime we need or want to combine materials and exercises from some resources in one paper (one bundle of papers) which are accord with the planned learning activities. Here are some things we must pay attention about creating our own learning material.
Learning Material contains:
  • ·         The clear name of each stage

There must be stage name. Stage here can be meant the skills (e.g.: listening section, speaking practice, etc), the activity stage (e.g.: elaboration, exploration, and confirmation/ building knowledge of the field, modeling of text, joint construction of text, and individual construction of text). You can manage the stage based on your teaching style or teaching principle.
  • ·         The explanation of the material

A learning material should contain material explanation. For example: the material is about narrative text, so there must be an explanation about the generic structure of narrative, social function of narrative, etc. You can give brief explanation or long and detail explanation. But it is suggested to write the brief but clear explanation to avoid a boring learning material. If you think the students must know the very specific, detail, or wider information about the material, you can give longer explanation when you are delivering the material.
  • ·         Example of the material

To give the students an image of the material, we must put anor some example(s). Example(s) can make students more understand the material. Give an interesting, unique, or unusual example. It will make students pay their attention more and more to the example and it may lead them to recognize and understand the material.
  • ·         Exercises

Practice makes perfect. That proverb represents the existence of exercises in learning activities and also in a learning material. We give the students chances to practice their knowledge through exercises in learning material. The forms of exercises can be created as creative as you can, as long as they are get along with the material and learning objectives. You can make multiple choice, essay, short-answer test, crosswords, make a match, picture cued question, jumbled words, or jumbled sentences, etc.
  • ·         Pronunciation/ phonetic transcription

May be in the class, we do not give pronunciation or phonetic transcription course in specific time. But we can deliver a little by a little about pronunciation and/or phonetic transcription from the selected vocabularies in the material. We can display some vocabularies and the phonetic transcription in the beginning or in the last part of the learning material. Usually some book writers write it in the last section of the learning material.

A learning material should:
  • §  Be interesting

The content and the appearance of learning material should be interesting. If we want the students read the material enthusiastically, we must create an interesting learning material. Then, how to make our learning material interesting to be read?
First, the content should be interesting. As I said before, the content should be delivered briefly and clearly; and the samples should be unique and interesting one. We can add some unique, funny, or wonderful facts or myths or joke related to the material. We can give up-to-date texts or samples. Try to create some variations of exercises form.
The appearance of the learning material will affect the students’ willingness to read the learning material. We must pay attention to the font size and style, the alignment, the color (if the learning material is displayed in colorful pages), etc.  A vary and unique appearance also can make students wonder and then read it. Insert some clip arts, shapes, smartArts, or charts whenever it is proper. Be creative with the alignment. You can use centre or align text right to raise the students’ interest to read it.

  • §  Suitable and appropriate for the age of the learners (contextual)

Both the content and the appearance of the learning material should be contextual. The knowledge we want to display will be accepted well by the students if we provide it proper with their age.
Use proper vocabularies and grammar by considering the age of the students. Use simple sentences for students in elementary and junior high school.  In junior high school age, we can use complex sentences but use simple and common conjunction for junior high school students. Provide suitable and appropriate samples for the age of the students. There were some cases of which students were given improper sample texts. They were elementary students, but the texts were about marriage problems, money problems, etc. provide our next generation with the good ones, not the bad ones.
The appearance of the learning material should also be contextual. The use of font type and size, color, and pictures should be adjusted with the students’ age. For example: it is proper if texts using Comic Sans MS, size 14 is delivered for 4th graders.

  • §  Put the SK (standard competence) and KD (basic competence)

When we create a learning material, it should be based on SK and KD. The SK and KD we used should be put in our learning material as a reference and control toward the material. By putting SK and KD, the readers know whether the learning material is in line with the SK and KD or not.

  • §  Prevent plagiarism by giving the source or modify it by ourselves.

We got our knowledge from other sources. When we want to share it to other, it is better to modify the way we say or deliver it in order to avoid plagiarism. We can restate a theory or story using our sentence, explain it wider or explain it in summary. For example: the review of Negeri 5 Menara novel, we can read other’s review but we have to modify by ourselves if we do not want to be called plagiarist. We can quote other source’s sentences exactly as it is, but we have to write the source name. For example: we want to put someone’s review of Negeri 5 Menara novel as it is, we should state the source’s name.

  • §  Include clear instructions

A learning material can be said as a good learning material if it includes clear instructions. Completing with clear instruction, with or without the existence of the teacher, the students will get the instruction well without being confused. A clear instruction commonly will use one order in one sentence. If there is more than one action for an instruction or a problem (question), the sequence of the action must be written one by one sentence. It is better if the instruction is followed by an example.

Ready to create the learning material by ourselves? Cool! Let’s do the best for our better next generation.

Thursday, March 21, 2013

From Zero to Hero


Formula "from zero to hero" ini aku dapat dari Pak Anif Sirsaeba ketika beliau menjadi pembicara di Kuliah Ahad Pagi di Masjid Ulul Albab UNNES kira-kira tahun 2009 yang lalu.

F  Jalan yang terbaik adalah jalanAllah.
Sesuatu yang kita anggap baik belum tentu baik menurut Allah. Dan bisa saja sebaliknya. Ketika kita menganggap sesuatu itu tidak baik, ternyata sesuatu itu baik menurut Allah. So, apapun yang terjadi setelah kita berusaha dan berdoa, ikhlaskan dan pasrahkan semuanya pada Allah.
F  Hijrah dari tempat yang tidak (kurang) propektif ke tempat yang lebih prospektif.
F  Strategi => cari kawan yang kompeten.
F  Berani BERGERAK ke takdir yang jauh lebih karena Allah.
·       Bergerak itu pasti ditolak, tapi jangan putus asa.
·       Jika tidak bergerak (statis), maka kita tidak akan sukses.
F  Jangan berlebihan dan jangan berkekurangan.
F  Kerjakan langkah yang ada di depan mata.
F  Kunci negoisasi dengan orang lain => cari informasi mengenai hal-hal yang disukai orang tersebut.
F  Berdoa.

Wednesday, March 20, 2013

Ujung Negoro Beach

A nature enchantment with a little trouble from human is shown in this photograph of Ujung Negoro beach. TThis is a beach located in Ujungnegoro, Batang Regency, Central Java. You can see the sand, the stones, the clean seawater, the unpoluted sky, the nature-planted trees and bushes there. You will not see any tourist and of course any trash in this beach .
(This picture was taken on the way from Semarang to Pekalongan on the New Kaligung train in the morning in 2009)


Pesona alam yang sedikit terkena sentuhan manusia tergambar dalam potret pantai Ujung Negoro, kabupaten Batang, Jawa Tengah. Tak ada turis ataupun pengunjung dan juga tak ada sampah di sana. Yang ada hanyalah laut, ombak, pasir, batu karang, pepohonan, semak belukar, serta langit yang bersih.
(foto ini diambil dalam perjalanan di KA Kaligung Semarang-Pekalongan pagi hari pada tahun 2009)

...

Wednesday, March 13, 2013

Jika Kecewa Datang

Terasa miris ketika membaca komentar-komentar di fanspage Batik TV.
Orang-orang yang marah karena kehilangan salah satu atau dua channel TV swasta memposting komentar dalam bahasa yang sangat tidak indah untuk dibaca dan dimasukkan ke dalam otak. Begitukah cara penyampaian kekecewaan orang-orang Pekalongan? Sungguh terkesan norak, tak berbudaya, tak berakhlak, tak beradab, tidak dewasa. :(
Ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan yang ada, itulah masalah. Dan kemudian muncullah rasa kecewa, frustasi, sedih, bahkan marah. Rasa-rasa tersebut adalah hal yang lumrah untuk dialami seorang manusia. Semua orang--entah itu serang bayi umur seminggu; bocah SD kelas 3; remaja yang sedang dalam masa puber; orang dewasa, orang tua umur 60an, baik itu pedagang; tukang becak; pengajar; insinyur; pegawai bank; computer programmer; mantri; kyai; ataupun ibu rumah tangga dsb-- kadang merasakan perasaan-perasaan yang negatif seperti kecewa dan kawan-kawannya itu.  Semua orang di dunia sama-sama pernah merasakannya. Nama "perasaan"nya sama, tetapi kadar, sebab, cara mengelola perasaan, cara penyampaian perasaannya berbeda.

Kadar perasaan kecewa dekaka setiap orang berbeda. Berbeda karena tipe orang dalam menghadapi masalah itu berbeda-beda; dan berbeda karena tingkat kesukaran masalah juga berbeda. Ada tipe orang yang sangat cuek, cukup cuek, perhatian (terhadap apapun termasuk masalah), dan sangat perhatian (hingga bisa disebut sensitif-- yang kalau ada yang tidak beres sedikit langsung geger). Karakter-karakter orang seperti ini turut mempengaruhi kadar perasaan "negatif" seseorang. Bisa jadi masalah A adalah masalah yang cukup membuat kepala pening bagi XXX; sementara bagi YYY, masalah A adalah masalah krusial dalam hidupnya. Begitu pun tingkat kesukaran masalah. semakin ruwet masalah, semakin menjadi-jadi rasa kecewa dekaka seseorang.

Sebab seseorang merasakan "perasaan negatif" tentu saja tak bisa disamakan dengan orang lain. 

Cara mengelola perasaan dan penyampaian perasaan setiap orang berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan kedewasaan, ke-IMTAQ-an (menurut saya), pola pikir, karakter, dan budaya yang dimiliki oleh seseorang. Semakin dewasa seseorang, semakin bijak ia mengelola dan memilih cara penyampaian masalah yang dihadapinya. Semakin merasuk iman dan taqwa seseorang, maka semakin tahulah ia bagaimana memanage perasaannya. Karakter pendiam akan membuat seseorang memendam apa yang dirasanya atau menyampaikan kepada pihak lain (mungkin saja dengan marah-marah kepada orang lain yang tidak ada hubungannya dengan masalah itu, atau mendiamkan orang yang "dimarahi"nya itu alias melancarkan perang dingin); untuk orang yang berkarakter terbuka, mungkin saja ia akan menyampaikan apa yang dirasakannya langsung to the point kepada yang bersangkutan atau marah-marah, mengomel agar semua orang di dunia tahu apa yang sedang dirasakannya.

Setiap orang hidup berkubang masalah, baik sepele maupun gawat darurat. Jika tak ingin dianggap sebagai orang yang childish dan tak berbudaya, kontrol perasaan, jernihkan pikiran dan ambillah cara terbaik dan terhormat untuk menunjukkan "rasa" kita jika memang patut untuk ditunjukkan.
Apapun masalahnya, hati dan otak penentunya. Benar? :)


Saturday, March 9, 2013

Kucing (tak) Beradab

Menurut pengamatan saya (yang tentu saja masih sebatas pengamatan di lokasi-lokasi di mana saya berada) kucing jaman sekarang berbeda dengan kucing jaman dahulu. Bisa saya katakan bahwa kucing jaman dahulu  lebih "beradab" daripada kucing jaman sekarang.

Bagaimana tidak, kucing dahulu kalau buang hajat selalu mengais-ngais tanah dulu. Setelah acara 'hajatan' selesai ia akan menutupnya dengan tanah. Dengan begitu, makhluk-makhuk lain tak akan melihat dan membaui "hasil hajat"nya secara jelas. Jadi kucing dahulu mempunyai adab (meski lebih tepatnya "custom alias habitual atawa kebiasaan") buang hajat di mana adab itu sangat mencerminkan rasa toleransi, menghargai indra penglihatan dan penciuman makhluk lain.

Berbeda dengan kucing dahulu, kucing jaman sekarang seperti kehilangan "adab" atau kebiasaan yang baik dalam membuang hajat. Sering mata saya terperosok pada hasil hajat sang kucing yang berceceran nggak nggenah. Belum lagi aromanya yang sangat menusuk perut. Beuhh. Benar-benar tidak bisa bertoleransi dengan makhluk lain ini kucing. Geram tingkat Dewa.

Entah kenapa kucing jaman sekarang malah kurang "beradab" dari para pendahulunya. Apakah karena para pendahulunya itu tidak mengajarinya, tidak memberi contoh secara riil, atau karena kucing jaman sekarang susah dikasih tahu alias bawel yaa??