Sunday, January 13, 2013

Hujan dari Dalam



Mendung menyelimuti pagi ini. Tak kuasa menahan beban uap air, sang mega mendung pun dengan ikhlas melepaskan uap air yang dikandungnya menjadi titik air yang manusia sebut dengan hujan. Hujan pagi ini tergolong cukup deras. Lama tak kulihat hujan deras dari dalam rumahku. Ya, cukup lama, karena selama empat tahun terakhir saya lebih banyak menghabiskan waktu di Semarang, tempat saya kuliah.

Terlihat air mengalir cukup deras dari atap rumahku dan rumah Bulikku. Rumahku dan rumah Bulikku bersisian dan bersambung membentuk huruf U. Dari sisi-sisi atap yang berpotongan, air meluncur bagai air terjun. Melihat air terjun rumah itu, terbayang masa kecilku dulu. Aku suka sekali memandangi hujan dari dalam rumah. Dulu saya suka sekali melihat air terjun rumah itu, melihat air berjalan di atas aspal jalan depan rumah, melihat ke langit asal jatuhnya sang hujan, dan melihat air mengalir di selokan kecil depan rumah. Semua kulihat dari dalam rumah. Kadang dengan jendela tertutup, kadang pula kubuka jendela agar aku bisa lebih merasakan hadirnya hujan. Kadang kupandangi hujan dengan berdiri, kadang kutarik sebuah kursi, kadang pula aku duduk di jendela ketika aku melihat dengan jendela terbuka.

Hujan. Aku suka sekali memandangi hujan dari dalam rumah, menyaksikan air curahan kasih sayang Tuhan pada makhlukNya tanpa harus merasa kedinginan. Hujan, aku suka sekali memandangi hujan dari dalam rumah. Menyaksikan air turun ke bumi dengan tetap merasakann suhu hangat rumah. Namun ada kalanya aku ingin merasakan iair hujan memgusap kuulitku, membasahi rambutku, membuat kuyup bajuku. Ingin rasaya merasakan hal itu ketika aku melihat hujan dari dalam rumah. Tapi Ibu bilang, “Jangan hujan-hujanan. Dingin. Nanti kamu sakit.” Kuturuti perkataan Ibu. Aku pun kembali memandang hujan dai dalam rumah.

Semasa kecil, aku sering bermain. Aku suka bermain dengan teman-teman di kampungku. Apapun permainan itu. Dari sekian macam permainan, ada dua macam permainan yang tidak kumainkan meski hasratku pada permainan itu cukup tinggi. Aku tak mau telingaku gatal demi mendengar omelan Ibu jika melihatku bermain dua permainan itu. Jadilah aku tekan rasa inginku pada permainan-permainan itu. Baiklah, kuberi tahu jenis dua permainan itu. Mereka adalah permainan yang dilakukan di luar rumah pada waktu malam dan pada waktu hujan.

Aku merasa iri pada mereka, teman-teman sepermainanku, yang dengan begitu riangnya bermain hujan-hujanan di luar rumah. Berlari kesana kemari, berdiri di bawah air terjun rumahan untuk merasakan pukulan air yang sepertinya cukup keras tapi menyenangkan itu, berpindah dari air terjun rumah satu ke air terjun rumah lain, membuat perahu kertas dan berlomba menghanyutkannya, menemukan sandal yang terbawa air. Kulihat, benar-benar sangat menyenangkan. Sesekali ketika mereka bermain hujan, mereka mengambil ember dan mengisinya dengan air hujan, kadang dengan air sungai yang meluap jika merasa terlalu lama menunggu air di ember menjadi penuh. Lantas menyiramkan air ember itu ke lantai rumah bulikku yang sudah memakai keramik. Waktu itu di kampungku, wabilkhusus gangku, tak banyak rumah yang berlantai keramik. Mereka memainkan sebuah permainan. Permainan mengepel lantai. Dengan limpahan air di lantai, mereka meluncurkan diri seakan-akan sedang berselancar. Ada yang meluncur dengan dengan gaya berdiri, ngesot, ada pula yang duduk dan menggunakan lutut sebagai tumpuan atau papan selancarnya. Masih kulihat hujan dari dalam rumah. Kupandangi juga tingkah teman-temanku yang sedang berpesta air hujan itu. Bahagianya. Tercetus tawa saat kulihat beberapa tingkah konyol teman-temanku itu. Ternyata aku masih bisa bahagia dengan hanya melihat dari dalam rumah. Tapi aku juga ingin merasakan bahagianya bermain air hujan, tidak hanya melihat. Inginku memainkan permainan-permainan air itu. Ingin sekali. Bergembira bersama teman-teman dan tentu saja bersama air hujan. Namun lagi-lagi Ibu bilang, “Sudah, di dalam saja. Tak usah kau ikut bermain dengan mereka. Nanti masuk angin.” Kembali kutahan rasa ingin itu sambil berharap suatu saat nanti aku bisa bermain hujan-hujanan kala Ibu sedang tidak di rumah. Namun sayang seribu sayang, apa yang kuinginkan tak bisa terwujud. Ah, andai saja aku lebih berani membuka pintu, menghambur keluar, tak mempedulikan ucapan Ibu, mungkin aku bisa sedikit merasakan kegembiraan itu, meski pada akhirnya nanti Ibu akan marah padaku.

Yang kurasakan, ternyata dirasakan pula oleh adikku. Ketika aku sudah cukup besar untuk memahami alasan Ibu melarang kami bermain hujan-hujanan, kini giliran adik keduaku merasakan badai keinginan bermain hujan. Berulangkali dia meminta izin dan berusaha membuka pintu rumah untuk keluar bermain hujan. Tentu saja Ibu tidak memperbolehkannya. Kutemani adikku memandang hujan dari jendela yang kubuka. Hingga suatu hari hujan mengguyur bumi tempatku berpijak. Ibu belum pulang dari bepergian. Bapak sedang menjemput Ibu. Alhasil hanya ada aku dan dua adikku di rumah. Sebagai yang tertua, tanpa harus diberi pengarahan, aku bertugas menjaga adikku untuk tetap di dalam rumah. Ketika aku lengah, adik keduaku yang laki-laki itu langsung membuka pintu dan keluar rumah. Aku terlambat menahannya. Berlari ia ke jalan, sekilas kulihat sinar mukanya yang sangat ceria. Dalam hati tak tega aku menahan kegembiraannya, tapi harus kulakukan tugasku. Tugasku membawanya ke dalam rumah agar ia tak sakit karena bermain hujan-hujanan. Kusambar payung dan berlari keluar menjemput sang adik. Kubujuk ia untuk pulang kerumah. Tentu saja ia tak mau. Kupaksa, ia bergeming. Kucoba menggendongnya, ia berontak. Mulailah ia menangis. Menangis tanda ingin dituruti keinginannya. Aku tetap mencoba menggendongnya hingga payungku jatuh. Kurasakan air hujan,. Dingin, tapi sepertinya menyenangkan. Sebenarnya ini kesempatan emasku buat bermain hujan-hujanan nih, pikirku. Tapi masa iya, setelah membujuk-bujuk adikku untuk pulang di depan banyak orang aku ikut hujan-hujanan, nggak profesional banget deh, pikiran yang lain menimpali. Dan akhirnya aku tak berhasil membawa adikku pulang. Ya sudahlah, biar saja ia bergembira sesaat. Nanti kubujuk lagi agar ia ada di rumah sebelum Ibu pulang. Bilang sama Ibu ga yaa kalau adik bermain huujan-hujanan? Mau tahu akhir ceritanya? Silahkan reka-reka sendiri. Aku sendiri tak begitu ingat bagaimana kelanjutannya. Hahahaa
Hujan. Sudah dua jam lebih hujan di pagi ini tercurah. Hingga detik ini belum ada tanda-tanda akan berhenti. Kini aku sudah menginjak 22 tahun. Aku masih suka melihat hujan. Masih juga ada beberapa anak kecil yang bermain hujan-hujanan. Tapi tak sebanyak dan seseru masa kecilku dulu. Aku juga masih suka memandangi air terjun rumah itu. Namun, sesekilas saja kupandangi hujan. Itu sudah cukup menyegarkan mataku dan mengingatkanku pada Yang Maha Kuasa yang telah mengizinkan air turun membasahi bumi. Tak perlulah berlama-lama memandangi seperti pada masa kecilku.

Aku suka melihat hujan dari dalam rumah. Riuh dan segar di luar, hangat dan menentramkan di dalam. Pekalongan, 29122012