Monday, May 20, 2013

Sujud Aja Kok Takut!


23012012
Ketika saya di rumah, saya mendapati adik saya yang berumur sekitar 9 tahun akan sholat,. Waktu itu sholat maghrib di kamar, tepatnya di sebelah tempat tidur. Setelah menggelar sajadah dan memakai mukena, ia mengambil dua bantal. Saya heran, untuk apa bantal-bantal itu? Saya pikir ia masih mau bermain. Kutegur adikku,”udah tho,  sholat dulu. Mainan bantalnya ntar kalau sholatnya sudah selesai.” Si adik menjawab, “aku gak mau main-main kok. Ini mau sholat.” Sambil menjawab begitu, ia menyusun bantal-bantal itu berjejer di samping tempat tidur. Aku berpikir sebentar, dan kemudian kutemukan jawabannya. Ternyata maksud adikku menyusun bantal disamping tempat tidur itu untuk menutupi kolong tempat tidur. Rupanya ia takut kalau-kalau ketika ia ruku dan sujud, ia melihat “sesuatu” dari kolong tempat tidur. Hahahaa. Kreatif dan ampuh juga cara adikku mengatasi rasa takutnya itu. Kenapa dulu aku tidak sampai berpikir ada cara yang seperti itu ya? Hahaha.
Dulu sewaktu aku kecil—ya sekitar 9 tahun dan ke atas—aku juga mengalami hal yang sama dengan adikku itu—takut melihat “sesuatu” di kolong tempat tidur ketika ruku’ dan sujud. Apalagi kalau sholat sendirian, tidak ada orang lain di kamar. Benar-benar senam jantung deh kalau sudah mau ruku’ dan sujud. Ketika ruku’ masih mendinganlah takutnya. Tapi kalau sudah sujud, hati berdegup kencang, mata terpejam kuat, pikiran membayangkan hal yang tidak-tidak, dan mulut komat-kamit cepat membaca bacaan sujud ingin cepat-cepat menyelesaikan sujud. Kalau sudah berdiri lagi, sudah lega. Dan ketakutan akan terulang untuk sujud rakaat kedua, ketiga, maupun keempat. Huft.. benar-benar deh. Benar-benar apa? Benar-benar gak khusyuk. Hohoho, boro-boro khusyuk, sholat dengan tenang saja tidak. By the way, ada tidak ya anak kecil yang sholat dengan khusyuk?
Kalau dilihat dari sudut pandang psikologi*, saya berasumsi bahwa seorang anak yang berumur sekitar 8 hingga pra-remaja sudah mengerti, mengenal, dan mengalami rasa takut akan hantu dan kawan-kawannya. Hal itu terjadi karena mereka sudah bisa menangkap informasi-informasi dari lingkungan sekitar dengan jelas dan sudah mampu mengimajinasikannya. Ketika dia mendengar cerita-cerita hantu dari sang teman; dari tontonan televisi;  dari pembicaraan orang-orang dewasa di sekitarnya; atau pun dari sumber-sumber lain, dia akan membayangkan apa yang dia dengar dan lihat itu. Informasi atau cerita tentang makhluk ghaib yang ia dapatkan itu terserap di pikirannya. Mungkin saja setelah mendengarkan cerita menyeramkan dari temannya sewaktu istirahat sekolah, ia dan pikirannya bergumul dengan pelajaran-pelajaran dan kemudian ia tertawa riang bercanda dengan temannya-temannya sewaktu pulang sekolah, ia lupa akan cerita menyeramkan tersebut. Namun, cerita sang teman tidak berpudar dari memorinya. Situasi, keadaan, dan persepsi akan sesuatu (semisal sepi, gelap, berjalan di samping pohon yang sangat besar atau rumah kosong, dan sebagainya) akan memunculkan kembali memori cerita temannya yang menyeramkan itu, dan kemudian terbersitlah rasa takut dari pikiran dan relung hatinya. Yah, kecuali jika si anak memiliki keberanian yang tangguh akan hal-hal seperti itu.
*sudut pandang psikologi yang dipakai adalah sudut pandang psikologis pengamatan**, bukan teori karena saya belum pernah membaca buku psikologi anak tentang rasa takut dan berani—juga buku-buku psikologi lain^^hehee
**psikologi pengamatan di sini adalah saya mengamati psikologis beberapa anak di sekitar saya termasuk pengalaman psikologis saya dulu.

Bintang 39: Aku Bertanam, Maka Aku Memanen

“Bahwa tidak ada yang orang dapatkan, melainkan yang ia usahakan.”
(QS. An Najm:39)
Hingga detik ini, ada dua hal yang terpikirkan olehku setelah membaca ayat di atas di bukunya Ary Ginanjar tentang ESQ. Keduanya tidak muncul bersamaan, melainkan satu per satu, mungkin selisih dua menit.
Pikiran pertama yang terlintas adalah hal yang menyangkut diri saya sendiri yang sering mengalami saat-saat have no money at all. Ketika membaca ayat tersebut saya merasa sangat tersindir. Bukan salah Tuhan tidak memberiku uang meski aku mengharap padaNya dengan sangat dan berkali-kali, bukan salah orangtuaku yang (mungkin) terganggu dengan permintaanku akan uang, dan bukan salah tempatku bekerja yang sudah jelas-jelas mempunyai waktu tersendiri dalam penggajian pengajarnya. Yang salah adalah diri saya sendiri yang kurang proaktif beraksi mencari karunia Tuhan berupa uang itu. Pekerjaan saya saat ini memang terdengar cukup ‘wah’, tapi tidak cukup ‘wah’ kalau ditilik dari segi salarynya. Saya menyadari hal itu, saya juga menyadari kalau saya sangat perlu memegang jabatan lain, entah sebagai tentor di institusi lain, distributor sebuah produk, kontributor sebuah media, ataupun sebagai founder sebuah perusahaan swasta. Namun, yang terjadi saya tidak cukup berani untuk memulai langkah-langkah produktif. Masih mengandalkan “panggilan” dari institusi-institusi yang saya lamar. Kalau Pak Ippho Santosa, Pak Robert Kiyosaki, Pak Donald Trumph, dan Pak-Pak pengusaha sukses lain mendengar apalagi melihat apa yang kulakukan ini pasti akan geleng-geleng kepala berdecak menyayangkan. Mungkin mereka akan bilang “Ckckckck, sudah membaca buku-buku saya tapi kok masih bermental pengecut seperti itu? Pergi ke laut saja sana! Temui Nyi Roro Kidul apa Lor! Lhoh??
Yah begitulah pemirsa, buku-buku tentang impian-impian, motivasi, berpikir dan bertindak seperti pengusaha, dan tema-tema pengembangan diri lain yang hampir semuanya tentang berwirausaha sudah saya baca (dan sepertinya tidak ada buku yang saya baca berisi tentang bagaimana menjadi pegawai yang baik, melejitkan keuangan dengan menjadi pegawai, ataupun buku-buku lain tentang kepegawaian, bahkan buku tentang kiat menembus tes CPNS). Impian-impian dan target-target sudah saya tulis sedemikian rupa. Niat awal sudah saya bulatkan. Beberapa hal sudah saya mulai. Namun permulaan hanyalah permulaan, tak akan menjadi proses dan hasil, jika tidak ditindaklanjuti dan dijalani. Begitulah yang saya lakukan, just do the begin, hanya memulai, kurang bisa menindaklanjuti apa yang sudah saya mulai. Lagi-lagi mungkin, para ‘guru’ dari perguruan “perbukuan” akan memecat saya dari posisi saya sebagai murid mereka.
Jadi intinya, karena saya tidak berusaha mendapatkan pekerjaan sambilan atau membuat pekerjaan untuk diri saya sendiri, alhasil jadilah saya tidak mendapat uang tambahan. Poor me! Solusinya? Usahakan, maka akan kamu dapatkan.
Hal kedua yang terpikirkan setelah membaca ayat An Najm: 39 ini mengenai salah satu bagian pekerjaan saya sebagai pengajar, yaitu membuat soal ujian. Ada dua opsi tentang pembuatan soal ujian semester: tim atau mandiri. Saya memutuskan untuk membuat soal sendiri untuk kelas yang saya ampu, karena yang saya ajarkan tidak sepenuhnya sama plek dengan modul dari pusat bahasa. Teori yang saya pakai merujuk pada modul tersebut, tetapi contoh-contoh teksnya saya sesuaikan dengan jurusan kelas yang saya pegang. Dengan membuat soal sendiri, saya bisa membuat soal yang sesuai dengan ‘ajaran’ saya di kelas dan tidak perlu khawatir dan kecewa jika soal tidak sesuai dengan yang diharapkan karena pandangan pengajar satu dengan yang lain atas suatu materi yang sama pun kadang bisa berbeda.
Malam itu sebenarnya sedang ada pergolakan batin di diri saya, antara memanfaatkan waktu luang dengan membuat soal ujian atau membaca buku yang (kata orang) spektakuler itu. Saya sudah mendengar sudah lama tentang ESQ dan Ary Ginanjar, tetapi entah kenapa hidayah membaca buku itu (buku ESQnya Pak Ary) baru tertangkap oleh saya saat ini. Sudah ketinggalan berapa abad ya?? Ckckck.. Kembali pada bahasan utama. Jadi kemudian saya memilih untuk membaca dulu, intuisi saya mengatakan barangkali saya menemukan ide untuk soal ujian dari buku ini. Intuisi ini mungkin terdengar tidak nyambung: bagaimana bisa ide untuk soal (teks soal) bahasa Inggris untuk jurusan perbankan syariah ada di buku yang notabene tentang spiritual, emotional, motivational, de es be? Tapi saya yakinkan diri saya, ide itu terletak di mana saja. Justru ide yang ditemukan di luar “habitat aslinya” bisa saja menjadi ide yang out of the box.
Dan ide out of the box itu pun muncul setelah satu menit dua menit merenung tentang “bahwa tiada orang yang dapatkan, selain yang ia usahakan.” Pikiran pertama sudah muncul, pikiran kedua pun menyusul Sebutir soal tercetus: “Tulis sebuah essay tentang ‘bahwa tiada orang yang dapatkan, selain yang ia usahakan (An Najm:39)’ menurut pengetahuan, pemahaman, pendapat, atau pengalaman Anda (minimal 10 kalimat).”
Godgreat! Yes!! Inilah yang saya inginkan! Tanpa harus membuat 20 teks soal berbeda, saya sudah mendapatkannya dalam satu instruksi. Yup, dari awal, saya ingin agar soal tiap siswa berbeda, atau soal sama tetapi memuat jawaban yang berbeda dari setiap siswa. Hal ini saya inginkan karena saya ingin siswa yang saya ajar benar-benar menunjukkan kemampuan dirinya sendiri, bukan kemampuan orang lain yang ia tulis dalam lembar jawabnya. Soal itu juga sebagai sebuah reaksi saya atas kalimat para “guru buku” saya bahwa pendidikan di pendidikan formal tidak mengajarkan hakikat EQ dan SQ melainkan hanya IQ. Pernyataan-pernyataan para guru buku tadi melecut semangat saya untuk mendidik murid-murid saya dengan melibatkan unsur ESQ disamping IQ agar bisa menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik dari pribadi sebelumnya.