Tuesday, July 2, 2013
Monday, May 20, 2013
Sujud Aja Kok Takut!
23012012
Ketika saya di
rumah, saya mendapati adik saya yang berumur sekitar 9 tahun akan sholat,. Waktu
itu sholat maghrib di kamar, tepatnya di sebelah tempat tidur. Setelah
menggelar sajadah dan memakai mukena, ia mengambil dua bantal. Saya heran, untuk
apa bantal-bantal itu? Saya pikir ia masih mau bermain. Kutegur adikku,”udah tho,
sholat dulu. Mainan bantalnya
ntar kalau sholatnya sudah selesai.” Si adik menjawab, “aku gak
mau main-main kok. Ini mau sholat.” Sambil menjawab begitu, ia menyusun bantal-bantal
itu berjejer di samping tempat tidur. Aku berpikir sebentar, dan kemudian
kutemukan jawabannya. Ternyata maksud adikku menyusun bantal disamping tempat
tidur itu untuk menutupi kolong tempat tidur. Rupanya ia takut kalau-kalau
ketika ia ruku dan sujud, ia melihat “sesuatu” dari kolong tempat tidur.
Hahahaa. Kreatif dan ampuh juga cara adikku mengatasi rasa takutnya itu. Kenapa
dulu aku tidak sampai berpikir ada cara yang seperti itu ya? Hahaha.
Dulu sewaktu aku
kecil—ya sekitar 9 tahun dan ke atas—aku juga mengalami hal yang sama dengan
adikku itu—takut melihat “sesuatu” di kolong tempat tidur ketika ruku’ dan
sujud. Apalagi kalau sholat sendirian, tidak ada orang lain di kamar.
Benar-benar senam jantung deh kalau sudah mau ruku’ dan sujud. Ketika
ruku’ masih mendinganlah takutnya. Tapi kalau sudah sujud, hati berdegup
kencang, mata terpejam kuat, pikiran membayangkan hal yang tidak-tidak, dan
mulut komat-kamit cepat membaca bacaan sujud ingin cepat-cepat menyelesaikan
sujud. Kalau sudah berdiri lagi, sudah lega. Dan ketakutan akan terulang untuk
sujud rakaat kedua, ketiga, maupun keempat. Huft.. benar-benar deh. Benar-benar
apa? Benar-benar gak khusyuk. Hohoho, boro-boro khusyuk, sholat dengan
tenang saja tidak. By the way, ada tidak ya anak kecil yang sholat dengan
khusyuk?
Kalau dilihat
dari sudut pandang psikologi*, saya berasumsi bahwa seorang anak yang berumur
sekitar 8 hingga pra-remaja sudah mengerti, mengenal, dan mengalami rasa takut
akan hantu dan kawan-kawannya. Hal itu terjadi karena mereka sudah bisa
menangkap informasi-informasi dari lingkungan sekitar dengan jelas dan sudah
mampu mengimajinasikannya. Ketika dia mendengar cerita-cerita hantu dari sang
teman; dari tontonan televisi; dari
pembicaraan orang-orang dewasa di sekitarnya; atau pun dari sumber-sumber lain,
dia akan membayangkan apa yang dia dengar dan lihat itu. Informasi atau cerita
tentang makhluk ghaib yang ia dapatkan itu terserap di pikirannya. Mungkin saja
setelah mendengarkan cerita menyeramkan dari temannya sewaktu istirahat
sekolah, ia dan pikirannya bergumul dengan pelajaran-pelajaran dan kemudian ia
tertawa riang bercanda dengan temannya-temannya sewaktu pulang sekolah, ia lupa
akan cerita menyeramkan tersebut. Namun, cerita sang teman tidak berpudar dari
memorinya. Situasi, keadaan, dan persepsi akan sesuatu (semisal sepi, gelap,
berjalan di samping pohon yang sangat besar atau rumah kosong, dan sebagainya)
akan memunculkan kembali memori cerita temannya yang menyeramkan itu, dan
kemudian terbersitlah rasa takut dari pikiran dan relung hatinya. Yah, kecuali
jika si anak memiliki keberanian yang tangguh akan hal-hal seperti itu.
*sudut pandang
psikologi yang dipakai adalah sudut pandang psikologis pengamatan**, bukan
teori karena saya belum pernah membaca buku psikologi anak tentang rasa takut
dan berani—juga buku-buku psikologi lain^^hehee
**psikologi
pengamatan di sini adalah saya mengamati psikologis beberapa anak di sekitar
saya termasuk pengalaman psikologis saya dulu.
Bintang 39: Aku Bertanam, Maka Aku Memanen
“Bahwa tidak ada yang
orang dapatkan, melainkan yang ia usahakan.”
(QS. An Najm:39)
(QS. An Najm:39)
Hingga detik ini, ada dua hal
yang terpikirkan olehku setelah membaca ayat di atas di bukunya Ary Ginanjar
tentang ESQ. Keduanya tidak muncul bersamaan, melainkan satu per satu, mungkin
selisih dua menit.
Pikiran pertama yang terlintas
adalah hal yang menyangkut diri saya sendiri yang sering mengalami saat-saat have
no money at all. Ketika membaca ayat tersebut saya merasa sangat tersindir.
Bukan salah Tuhan tidak memberiku uang meski aku mengharap padaNya dengan
sangat dan berkali-kali, bukan salah orangtuaku yang (mungkin) terganggu dengan
permintaanku akan uang, dan bukan salah tempatku bekerja yang sudah jelas-jelas
mempunyai waktu tersendiri dalam penggajian pengajarnya. Yang salah adalah diri
saya sendiri yang kurang proaktif beraksi mencari karunia Tuhan berupa uang
itu. Pekerjaan saya saat ini memang terdengar cukup ‘wah’, tapi tidak cukup
‘wah’ kalau ditilik dari segi salarynya. Saya menyadari hal itu, saya juga
menyadari kalau saya sangat perlu memegang jabatan lain, entah sebagai tentor
di institusi lain, distributor sebuah produk, kontributor sebuah media, ataupun
sebagai founder sebuah perusahaan swasta. Namun, yang terjadi saya tidak cukup
berani untuk memulai langkah-langkah produktif. Masih mengandalkan “panggilan”
dari institusi-institusi yang saya lamar. Kalau Pak Ippho Santosa, Pak Robert
Kiyosaki, Pak Donald Trumph, dan Pak-Pak pengusaha sukses lain mendengar
apalagi melihat apa yang kulakukan ini pasti akan geleng-geleng kepala berdecak
menyayangkan. Mungkin mereka akan
bilang “Ckckckck, sudah membaca buku-buku saya tapi kok masih bermental
pengecut seperti itu? Pergi ke laut saja sana! Temui Nyi Roro Kidul apa Lor!” Lhoh??
Yah begitulah pemirsa, buku-buku
tentang impian-impian, motivasi, berpikir dan bertindak seperti pengusaha, dan
tema-tema pengembangan diri lain yang hampir semuanya tentang berwirausaha sudah
saya baca (dan sepertinya tidak ada buku yang saya baca berisi tentang
bagaimana menjadi pegawai yang baik, melejitkan keuangan dengan menjadi
pegawai, ataupun buku-buku lain tentang kepegawaian, bahkan buku tentang kiat
menembus tes CPNS). Impian-impian dan target-target sudah saya tulis sedemikian
rupa. Niat awal sudah saya bulatkan. Beberapa hal sudah saya mulai. Namun permulaan
hanyalah permulaan, tak akan menjadi proses dan hasil, jika tidak ditindaklanjuti dan dijalani.
Begitulah yang saya lakukan, just do the begin, hanya memulai, kurang bisa menindaklanjuti apa
yang sudah saya mulai. Lagi-lagi mungkin, para ‘guru’ dari perguruan
“perbukuan” akan memecat saya dari posisi saya sebagai murid mereka.
Jadi intinya, karena saya tidak
berusaha mendapatkan pekerjaan sambilan atau membuat pekerjaan untuk diri saya
sendiri, alhasil jadilah saya tidak mendapat uang tambahan. Poor me! Solusinya?
Usahakan, maka akan kamu dapatkan.
Hal kedua yang terpikirkan
setelah membaca ayat An Najm: 39 ini mengenai salah satu bagian pekerjaan saya
sebagai pengajar, yaitu membuat soal ujian. Ada dua opsi tentang pembuatan soal
ujian semester: tim atau mandiri. Saya memutuskan untuk membuat soal sendiri
untuk kelas yang saya ampu, karena yang saya ajarkan tidak sepenuhnya sama plek
dengan modul dari pusat bahasa. Teori yang saya pakai merujuk pada modul
tersebut, tetapi contoh-contoh teksnya saya sesuaikan dengan jurusan kelas yang
saya pegang. Dengan membuat soal sendiri, saya bisa membuat soal yang sesuai
dengan ‘ajaran’ saya di kelas dan tidak perlu khawatir dan kecewa jika soal
tidak sesuai dengan yang diharapkan karena pandangan pengajar satu dengan yang
lain atas suatu materi yang sama
pun kadang bisa berbeda.
Malam itu sebenarnya sedang ada
pergolakan batin di diri saya,
antara memanfaatkan waktu luang dengan membuat soal ujian atau membaca buku
yang (kata orang) spektakuler itu.
Saya sudah mendengar sudah lama tentang ESQ dan Ary Ginanjar, tetapi entah
kenapa ‘hidayah’ membaca buku itu (buku ESQnya Pak Ary) baru tertangkap oleh saya saat ini. Sudah ketinggalan berapa
abad ya?? Ckckck.. Kembali pada
bahasan utama. Jadi kemudian saya memilih untuk membaca dulu, intuisi saya mengatakan
barangkali saya menemukan ide untuk soal ujian dari buku ini. Intuisi
ini mungkin terdengar tidak nyambung: bagaimana bisa ide untuk soal
(teks soal) bahasa Inggris untuk jurusan perbankan syariah ada di buku yang
notabene tentang spiritual, emotional, motivational, de es be? Tapi saya
yakinkan diri saya, ide itu terletak di mana saja. Justru ide yang ditemukan di
luar “habitat aslinya” bisa saja menjadi ide yang out of the box.
Dan ide out of the box itu pun muncul setelah satu menit dua menit merenung
tentang “bahwa tiada orang yang dapatkan, selain yang ia usahakan.” Pikiran pertama sudah muncul, pikiran kedua pun menyusul Sebutir
soal tercetus: “Tulis sebuah essay tentang ‘bahwa tiada orang yang dapatkan,
selain yang ia usahakan (An Najm:39)’ menurut pengetahuan, pemahaman, pendapat,
atau pengalaman Anda (minimal 10 kalimat).”
Godgreat! Yes!! Inilah yang saya
inginkan! Tanpa harus membuat 20 teks soal berbeda, saya sudah mendapatkannya
dalam satu instruksi. Yup, dari awal, saya ingin agar soal tiap siswa berbeda,
atau soal sama tetapi memuat jawaban yang berbeda dari setiap siswa. Hal ini
saya inginkan karena saya ingin siswa yang saya ajar benar-benar menunjukkan
kemampuan dirinya sendiri, bukan kemampuan orang lain yang ia tulis dalam
lembar jawabnya. Soal itu juga sebagai sebuah reaksi saya atas kalimat para
“guru buku” saya bahwa pendidikan di pendidikan formal tidak mengajarkan
hakikat EQ dan SQ melainkan hanya IQ. Pernyataan-pernyataan para guru buku tadi
melecut semangat saya untuk mendidik murid-murid saya dengan melibatkan unsur
ESQ disamping IQ agar bisa menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik dari pribadi
sebelumnya.
Sunday, April 21, 2013
Creating Learning Material? Come on!
Learning material is important
for students as learning source. We can give the learning material by write it
down on whiteboard, display it on LCD in form of PowerPoint presentation, or of
print it out. Or, commonly, many teachers use a student worksheet (LKS) and/or
textbook as the learning material. But sometime we are not satisfied 100% with
the LKS and/or textbook; we need or want to create learning material by
ourselves. Sometime we need or want to combine materials and exercises from
some resources in one paper (one bundle of papers) which are accord with the
planned learning activities. Here are some things we must pay attention about
creating our own learning material.
Learning Material contains:
- · The clear name of each stage
There must be
stage name. Stage here can be meant the skills (e.g.: listening section,
speaking practice, etc), the activity stage (e.g.: elaboration, exploration,
and confirmation/ building knowledge of the field, modeling of text, joint
construction of text, and individual construction of text). You can manage the
stage based on your teaching style or teaching principle.
- · The explanation of the material
A learning
material should contain material explanation. For example: the material is about narrative text, so there must be an explanation about the generic structure of narrative, social function of narrative, etc. You can give brief explanation or
long and detail explanation. But it is suggested to write the brief but clear
explanation to avoid a boring learning material. If you think the students must
know the very specific, detail, or wider information about the material, you
can give longer explanation when you are delivering the material.
- · Example of the material
To give the
students an image of the material, we must put anor some example(s). Example(s)
can make students more understand the material. Give an interesting, unique, or
unusual example. It will make students pay their attention more and more to the
example and it may lead them to recognize and understand the material.
- · Exercises
Practice makes
perfect. That proverb represents the existence of exercises in learning
activities and also in a learning material. We give the students chances to
practice their knowledge through exercises in learning material. The forms of exercises
can be created as creative as you can, as long as they are get along with the
material and learning objectives. You can make multiple choice, essay,
short-answer test, crosswords, make a match, picture cued question, jumbled
words, or jumbled sentences, etc.
- · Pronunciation/ phonetic transcription
May be in the
class, we do not give pronunciation or phonetic transcription course in
specific time. But we can deliver a little by a little about pronunciation
and/or phonetic transcription from the selected vocabularies in the material.
We can display some vocabularies and the phonetic transcription in the
beginning or in the last part of the learning material. Usually some book
writers write it in the last section of the learning material.
A learning material should:
- § Be interesting
The content and
the appearance of learning material should be interesting. If we want the
students read the material enthusiastically, we must create an interesting
learning material. Then, how to make our learning material interesting to be
read?
First, the
content should be interesting. As I said before, the content should be
delivered briefly and clearly; and the samples should be unique and interesting
one. We can add some unique, funny, or wonderful facts or myths or joke related
to the material. We can give up-to-date texts or samples. Try to create some
variations of exercises form.
The appearance
of the learning material will affect the students’ willingness to read the
learning material. We must pay attention to the font size and style, the
alignment, the color (if the learning material is displayed in colorful pages),
etc. A vary and unique appearance also
can make students wonder and then read it. Insert some clip arts, shapes,
smartArts, or charts whenever it is proper. Be creative with the alignment. You
can use centre or align text right to raise the students’ interest to read it.
- § Suitable and appropriate for the age of the learners (contextual)
Both the content
and the appearance of the learning material should be contextual. The knowledge
we want to display will be accepted well by the students if we provide it
proper with their age.
Use proper
vocabularies and grammar by considering the age of the students. Use simple
sentences for students in elementary and junior high school. In junior high school age, we can use complex
sentences but use simple and common conjunction for junior high school
students. Provide suitable and appropriate samples for the age of the students.
There were some cases of which students were given improper sample texts. They
were elementary students, but the texts were about marriage problems, money
problems, etc. provide our next generation with the good ones, not the bad
ones.
The appearance
of the learning material should also be contextual. The use of font type and
size, color, and pictures should be adjusted with the students’ age. For
example: it is proper if texts using Comic Sans MS, size 14 is delivered for 4th
graders.
- § Put the SK (standard competence) and KD (basic competence)
When we create a
learning material, it should be based on SK and KD. The SK and KD we used
should be put in our learning material as a reference and control toward the
material. By putting SK and KD, the readers know whether the learning material
is in line with the SK and KD or not.
- § Prevent plagiarism by giving the source or modify it by ourselves.
We got our
knowledge from other sources. When we want to share it to other, it is better
to modify the way we say or deliver it in order to avoid plagiarism. We can
restate a theory or story using our sentence, explain it wider or explain it in
summary. For example: the review of Negeri 5 Menara novel, we can read other’s
review but we have to modify by ourselves if we do not want to be called
plagiarist. We can quote other source’s sentences exactly as it is, but we have
to write the source name. For example: we want to put someone’s review of
Negeri 5 Menara novel as it is, we should state the source’s name.
- § Include clear instructions
A learning
material can be said as a good learning material if it includes clear
instructions. Completing with clear instruction, with or without the existence
of the teacher, the students will get the instruction well without being
confused. A clear instruction commonly will use one order in one sentence. If
there is more than one action for an instruction or a problem (question), the
sequence of the action must be written one by one sentence. It is better if the
instruction is followed by an example.
Ready to create the learning material by ourselves? Cool!
Let’s do the best for our better next generation.
Subscribe to:
Posts (Atom)