23012012
Ketika saya di
rumah, saya mendapati adik saya yang berumur sekitar 9 tahun akan sholat,. Waktu
itu sholat maghrib di kamar, tepatnya di sebelah tempat tidur. Setelah
menggelar sajadah dan memakai mukena, ia mengambil dua bantal. Saya heran, untuk
apa bantal-bantal itu? Saya pikir ia masih mau bermain. Kutegur adikku,”udah tho,
sholat dulu. Mainan bantalnya
ntar kalau sholatnya sudah selesai.” Si adik menjawab, “aku gak
mau main-main kok. Ini mau sholat.” Sambil menjawab begitu, ia menyusun bantal-bantal
itu berjejer di samping tempat tidur. Aku berpikir sebentar, dan kemudian
kutemukan jawabannya. Ternyata maksud adikku menyusun bantal disamping tempat
tidur itu untuk menutupi kolong tempat tidur. Rupanya ia takut kalau-kalau
ketika ia ruku dan sujud, ia melihat “sesuatu” dari kolong tempat tidur.
Hahahaa. Kreatif dan ampuh juga cara adikku mengatasi rasa takutnya itu. Kenapa
dulu aku tidak sampai berpikir ada cara yang seperti itu ya? Hahaha.
Dulu sewaktu aku
kecil—ya sekitar 9 tahun dan ke atas—aku juga mengalami hal yang sama dengan
adikku itu—takut melihat “sesuatu” di kolong tempat tidur ketika ruku’ dan
sujud. Apalagi kalau sholat sendirian, tidak ada orang lain di kamar.
Benar-benar senam jantung deh kalau sudah mau ruku’ dan sujud. Ketika
ruku’ masih mendinganlah takutnya. Tapi kalau sudah sujud, hati berdegup
kencang, mata terpejam kuat, pikiran membayangkan hal yang tidak-tidak, dan
mulut komat-kamit cepat membaca bacaan sujud ingin cepat-cepat menyelesaikan
sujud. Kalau sudah berdiri lagi, sudah lega. Dan ketakutan akan terulang untuk
sujud rakaat kedua, ketiga, maupun keempat. Huft.. benar-benar deh. Benar-benar
apa? Benar-benar gak khusyuk. Hohoho, boro-boro khusyuk, sholat dengan
tenang saja tidak. By the way, ada tidak ya anak kecil yang sholat dengan
khusyuk?
Kalau dilihat
dari sudut pandang psikologi*, saya berasumsi bahwa seorang anak yang berumur
sekitar 8 hingga pra-remaja sudah mengerti, mengenal, dan mengalami rasa takut
akan hantu dan kawan-kawannya. Hal itu terjadi karena mereka sudah bisa
menangkap informasi-informasi dari lingkungan sekitar dengan jelas dan sudah
mampu mengimajinasikannya. Ketika dia mendengar cerita-cerita hantu dari sang
teman; dari tontonan televisi; dari
pembicaraan orang-orang dewasa di sekitarnya; atau pun dari sumber-sumber lain,
dia akan membayangkan apa yang dia dengar dan lihat itu. Informasi atau cerita
tentang makhluk ghaib yang ia dapatkan itu terserap di pikirannya. Mungkin saja
setelah mendengarkan cerita menyeramkan dari temannya sewaktu istirahat
sekolah, ia dan pikirannya bergumul dengan pelajaran-pelajaran dan kemudian ia
tertawa riang bercanda dengan temannya-temannya sewaktu pulang sekolah, ia lupa
akan cerita menyeramkan tersebut. Namun, cerita sang teman tidak berpudar dari
memorinya. Situasi, keadaan, dan persepsi akan sesuatu (semisal sepi, gelap,
berjalan di samping pohon yang sangat besar atau rumah kosong, dan sebagainya)
akan memunculkan kembali memori cerita temannya yang menyeramkan itu, dan
kemudian terbersitlah rasa takut dari pikiran dan relung hatinya. Yah, kecuali
jika si anak memiliki keberanian yang tangguh akan hal-hal seperti itu.
*sudut pandang
psikologi yang dipakai adalah sudut pandang psikologis pengamatan**, bukan
teori karena saya belum pernah membaca buku psikologi anak tentang rasa takut
dan berani—juga buku-buku psikologi lain^^hehee
**psikologi
pengamatan di sini adalah saya mengamati psikologis beberapa anak di sekitar
saya termasuk pengalaman psikologis saya dulu.
Kadang-kadang itu bahkan bebas pajak. Mereka toko online yang tidak memiliki toko fisik di beberapa negara tidak memiliki pajak penjualan Aris BW ===
ReplyDeleteBelanja di Elevenia Gratis Voucher 1 Juta
Situs Judi Poker Online dan Domino Online Indonesia Terpercaya
CahayaQQ.com Agen Poker dan Domino Online Uang Asli Indonesia
Masterpoker99.com Agen Judi Ceme Blackjack, Agen Poker Domino QQ Online