Mendung
menyelimuti pagi ini. Tak kuasa menahan beban uap air, sang mega
mendung pun dengan ikhlas melepaskan uap air yang dikandungnya
menjadi titik air yang manusia sebut dengan hujan. Hujan pagi ini
tergolong cukup deras. Lama tak kulihat hujan deras dari dalam
rumahku. Ya, cukup lama, karena selama empat tahun terakhir saya
lebih banyak menghabiskan waktu di Semarang, tempat saya kuliah.
Terlihat
air mengalir cukup deras dari atap rumahku dan rumah Bulikku. Rumahku
dan rumah Bulikku bersisian dan bersambung membentuk huruf U. Dari
sisi-sisi atap yang berpotongan, air meluncur bagai air terjun.
Melihat air terjun rumah itu, terbayang masa kecilku dulu. Aku suka
sekali memandangi hujan dari dalam rumah. Dulu saya suka sekali
melihat air terjun rumah itu, melihat air berjalan di atas aspal
jalan depan rumah, melihat ke langit asal jatuhnya sang hujan, dan
melihat air mengalir di selokan kecil depan rumah. Semua kulihat
dari dalam rumah. Kadang dengan jendela tertutup, kadang pula kubuka
jendela agar aku bisa lebih merasakan hadirnya hujan. Kadang
kupandangi hujan dengan berdiri, kadang kutarik sebuah kursi, kadang
pula aku duduk di jendela ketika aku melihat dengan jendela terbuka.
Hujan.
Aku suka sekali memandangi hujan dari dalam rumah, menyaksikan air
curahan kasih sayang Tuhan pada makhlukNya tanpa harus merasa
kedinginan. Hujan, aku suka sekali memandangi hujan dari dalam rumah.
Menyaksikan air turun ke bumi dengan tetap merasakann suhu hangat
rumah. Namun ada kalanya aku ingin merasakan iair hujan memgusap
kuulitku, membasahi rambutku, membuat kuyup bajuku. Ingin rasaya
merasakan hal itu ketika aku melihat hujan dari dalam rumah. Tapi Ibu
bilang, “Jangan hujan-hujanan. Dingin. Nanti kamu sakit.”
Kuturuti perkataan Ibu. Aku pun kembali memandang hujan dai dalam
rumah.
Semasa
kecil, aku sering bermain. Aku suka bermain dengan teman-teman di
kampungku. Apapun
permainan itu. Dari sekian macam permainan, ada dua macam permainan
yang tidak kumainkan meski hasratku pada permainan itu cukup tinggi.
Aku tak mau telingaku gatal demi mendengar omelan Ibu jika melihatku
bermain dua permainan itu. Jadilah aku tekan rasa inginku pada
permainan-permainan itu. Baiklah, kuberi tahu jenis dua permainan
itu. Mereka adalah permainan yang dilakukan di luar rumah pada waktu
malam dan pada waktu hujan.
Aku
merasa iri pada mereka, teman-teman
sepermainanku, yang dengan begitu riangnya bermain hujan-hujanan di
luar rumah. Berlari kesana kemari, berdiri di bawah air terjun
rumahan untuk merasakan pukulan air yang sepertinya cukup keras tapi
menyenangkan itu, berpindah dari air terjun rumah satu ke air terjun
rumah lain, membuat perahu kertas dan berlomba menghanyutkannya,
menemukan sandal yang terbawa air. Kulihat, benar-benar sangat
menyenangkan. Sesekali ketika mereka bermain hujan, mereka mengambil
ember dan mengisinya dengan air hujan, kadang dengan air sungai yang
meluap jika merasa terlalu lama menunggu air di ember menjadi penuh.
Lantas menyiramkan air ember itu ke lantai rumah bulikku yang sudah
memakai keramik. Waktu itu di kampungku, wabilkhusus
gangku, tak banyak rumah yang berlantai keramik. Mereka memainkan
sebuah permainan. Permainan mengepel lantai. Dengan limpahan air di
lantai, mereka meluncurkan diri seakan-akan sedang berselancar. Ada
yang meluncur dengan dengan gaya berdiri, ngesot,
ada pula yang duduk dan menggunakan lutut sebagai tumpuan atau papan
selancarnya. Masih kulihat hujan dari dalam rumah. Kupandangi juga
tingkah teman-temanku yang sedang berpesta air hujan itu. Bahagianya.
Tercetus tawa saat kulihat beberapa tingkah konyol teman-temanku itu.
Ternyata aku masih bisa bahagia dengan hanya melihat dari dalam
rumah. Tapi aku juga ingin merasakan bahagianya bermain air hujan,
tidak hanya melihat. Inginku memainkan permainan-permainan air itu.
Ingin sekali. Bergembira bersama teman-teman dan tentu saja bersama
air hujan. Namun lagi-lagi Ibu bilang, “Sudah, di dalam saja. Tak
usah kau ikut bermain dengan mereka. Nanti masuk angin.” Kembali
kutahan rasa ingin itu sambil berharap suatu saat nanti aku bisa
bermain hujan-hujanan kala Ibu sedang tidak di rumah. Namun sayang
seribu sayang, apa yang kuinginkan tak bisa terwujud. Ah, andai saja
aku lebih berani membuka pintu, menghambur keluar, tak mempedulikan
ucapan Ibu, mungkin aku bisa sedikit merasakan kegembiraan itu, meski
pada akhirnya nanti Ibu akan marah padaku.
Yang
kurasakan, ternyata dirasakan pula oleh adikku. Ketika aku sudah
cukup besar untuk memahami alasan Ibu melarang kami bermain
hujan-hujanan, kini giliran adik keduaku merasakan badai keinginan
bermain hujan. Berulangkali dia meminta izin dan berusaha membuka
pintu rumah untuk keluar bermain hujan. Tentu saja Ibu tidak
memperbolehkannya. Kutemani adikku memandang hujan dari jendela yang
kubuka. Hingga suatu hari hujan mengguyur bumi tempatku berpijak. Ibu
belum pulang dari bepergian. Bapak sedang menjemput Ibu. Alhasil
hanya ada aku dan dua adikku di rumah. Sebagai yang tertua, tanpa
harus diberi pengarahan, aku bertugas menjaga adikku untuk tetap di
dalam rumah. Ketika aku lengah, adik keduaku yang laki-laki itu
langsung membuka pintu dan keluar rumah. Aku terlambat menahannya.
Berlari ia ke jalan, sekilas kulihat sinar mukanya yang sangat ceria.
Dalam hati tak tega aku menahan kegembiraannya, tapi harus kulakukan
tugasku. Tugasku membawanya ke dalam rumah agar ia tak sakit karena
bermain hujan-hujanan. Kusambar payung dan berlari keluar menjemput
sang adik. Kubujuk ia untuk pulang kerumah. Tentu saja ia tak mau.
Kupaksa, ia bergeming. Kucoba menggendongnya, ia berontak. Mulailah
ia menangis. Menangis tanda ingin dituruti keinginannya. Aku tetap
mencoba menggendongnya hingga payungku jatuh. Kurasakan air hujan,.
Dingin, tapi sepertinya menyenangkan. Sebenarnya ini kesempatan
emasku buat bermain hujan-hujanan nih,
pikirku. Tapi masa iya, setelah membujuk-bujuk adikku untuk pulang di
depan banyak orang aku ikut hujan-hujanan, nggak
profesional banget
deh,
pikiran yang lain menimpali. Dan akhirnya aku tak berhasil membawa
adikku pulang. Ya sudahlah, biar saja ia bergembira sesaat. Nanti
kubujuk lagi agar ia ada di rumah sebelum Ibu pulang. Bilang sama Ibu
ga
yaa kalau adik bermain huujan-hujanan? Mau tahu akhir ceritanya?
Silahkan reka-reka sendiri. Aku sendiri tak begitu ingat bagaimana
kelanjutannya. Hahahaa
Hujan.
Sudah dua jam lebih hujan di pagi ini tercurah. Hingga detik ini
belum ada tanda-tanda akan berhenti. Kini aku sudah menginjak 22
tahun. Aku masih suka melihat hujan. Masih juga ada beberapa anak
kecil yang bermain hujan-hujanan. Tapi tak sebanyak dan seseru masa
kecilku dulu. Aku juga masih suka memandangi air terjun rumah itu.
Namun, sesekilas saja kupandangi hujan. Itu sudah cukup menyegarkan
mataku dan mengingatkanku pada Yang Maha Kuasa yang telah
mengizinkan air turun membasahi bumi. Tak perlulah berlama-lama
memandangi seperti pada masa kecilku.
Aku
suka melihat hujan dari dalam rumah. Riuh dan segar di luar, hangat
dan menentramkan di dalam. Pekalongan,
29122012
No comments:
Post a Comment